Dilema Kemanusiaan

Teknologi vs Spiritualitas

Ruangan di sekitar Vaelith berubah. Cahaya holografik berdenyut pelan, menyerupai detak jantung semesta. Simbol-simbol agama, mandala bercahaya, bintang-bintang mistis, dan salib-salib bercahaya melayang di udara, menciptakan persimpangan antara dunia digital dan dunia batin.

Dengan nada serius, Vaelith angkat suara, lirih.

“Profesor, bagaimana dengan tantangan etis dari teknologi dalam praktik spiritual? Saya mendengar ada aplikasi meditasi yang bocor datanya. Bayangkan, doa, detak jantung, bahkan rasa tenang seseorang bisa jadi komoditas.”

Profesor Aetherion Nexus mengangguk, matanya berkilau dalam, penuh makna.

“Pertanyaan yang sangat tepat. Data spiritual adalah denyut jiwa. Jika jatuh ke tangan yang salah, datanya bisa dijadikan alat komersialisasi, bahkan memanipulasi perilaku manusia.”

Sosok bijak itu melambaikan tangan, simulasi visual di hadapan mereka berubah menjadi grafik.

Aliran data meditasi pribadi mengalir dari pengguna, lalu tercecer ke server global.

“Privasi spiritual adalah garis pertahanan terakhir identitas terdalam manusia.”

Simbol-simbol agama mulai bersinar lebih terang.

Salib bercahaya, bintang Daud, kaligrafi Arab, mandala Buddha, semua berputar sinkron.

Profesor melanjutkan.

“Ini bukan tentang satu tradisi saja. Semua agama menghadapi dilema yang sama. Apakah doa virtual masih doa? Apakah meditasi di dunia digital seotentik di hadapan guru dan komunitas nyata?”

Orang-orang tampak duduk dalam kesendiriannya.

Ada yang menatap smartphone dengan wajah kosong, ada yang terkurung headset VR, ada yang berdoa tanpa ruang persekutuan.

Atmosfer kesepian di ruangannya.

“Digitalisasi spiritual,” ucap Profesor dengan nada getir, “bisa melahirkan isolasi. Kehilangan sentuhan manusia yang justru inti dari praktik iman.”

Vaelith menghela napas dalam. Rasa ingin tahunya menyembul.

“Tapi, bukankah ada juga sisi terangnya?”

Profesor tersenyum, menunjuk ke hologram lain.

Seseorang memakai headset VR, rohnya seakan melayang berjalan di candi Borobudur digital. Wajahnya tenang, matanya penuh damai.

“Teknologi juga jembatan baru. Banyak orang yang tak mampu bepergian kini bisa ‘mengunjungi’ tempat suci, merasakan keheningan yang tak tersentuh jarak fisik. Itulah potensi positifnya.”

Selain itu, ada pula kisah yang berbeda: hologram berubah menampilkan desa pegunungan di Jawa Timur, di mana komunitas Tengger menjalankan ritual kuno di bawah bayang-bayang Gunung Bromo. Wajah-wajah warga terpancar keteguhan sekaligus kecemasan.

“Ada komunitas tradisional seperti Tengger yang mengalami tekanan besar,” Profesor melanjutkan.

“Modernisasi yang didominasi elit teknologi datang tanpa jembatan pengertian. Mereka merasa tradisi dan akar spiritual mereka terancam, hingga muncul penolakan kuat terhadap teknologi yang dianggap asing dan mengikis identitas mereka.”

Hologram memperlihatkan duel simbol: upacara kuno tenggeran yang syahdu berhadapan dengan menara-menara digital megah yang menjulang, disinari cahaya biru dingin.

“Konflik ini bukan sekadar soal lama dan baru, melainkan pertaruhan akan keberadaan jiwa kolektif suatu bangsa.”

Vaelith menatap dalam, suaranya lirih:

“Bagaimana kita bisa menjembatani kesenjangan itu? Agar kemajuan teknologi tidak menjadi alat penghambat, melainkan sarana penguat warisan spiritual?”

Profesor mengangguk bijak.

“Kuncinya adalah hormat dan inklusif. Setiap tradisi punya tempat dan suara yang harus didengar dalam arus globalisasi digital. Tanpa itu, modernisasi menjadi tirani yang memecah, bukan menyatukan.”

Hologram kembali berganti.

Sekelompok orang terhubung virtual, meski fisik mereka berjauhan. Seorang pekerja di kantor, seorang petani di desa, seorang pejalan di hutan, semuanya bersatu dalam doa yang sama, terhubung oleh cahaya digital.

“Lihatlah itu. Gereja virtual, komunitas doa online, zikir lintas benua. Di sini, teknologi memperluas inklusivitas. Membuka pintu bagi mereka yang sebelumnya terisolasi.”

Vaelith menunduk, merasakan denyutan gelang nano di pergelangan tangannya. Dari gema itu, ada pertanyaan yang harus diucapkan:

“Jadi kuncinya bagaimana kita menyeimbangkan?”

Profesor mengangguk. Suaranya bijak, penuh resonansi:

“Ya, Vaelith. Keseimbangan. Kita boleh membaca kitab suci dengan tablet, namun tetap menyalakan lilin agar hati turut hadir. Kita boleh bermeditasi dengan bimbingan AI, tapi juga harus tetap menyisakan ruang sunyi bagi jiwa sendiri.”

Hologram terakhir muncul, seorang manusia duduk di altar kecil.

Kitab suci terbuka di layar digital, sementara lilin nyata menyala di sampingnya. Pada dinding maya, malaikat holografik berputar lembut.

Teknologi dan transendensi berdampingan.

Profesor Aetherion tersenyum, matanya jernih seperti perak cair.

“Teknologi hanyalah alat. Esensi spiritual tetap bersemayam di hati manusia. Jika hati tetap hidup, maka alat apapun bisa menjadi jembatan menuju yang transenden. Ketika hati kehilangan makna, bahkan ritual paling suci pun hanya akan menjadi program kosong.”

Vaelith menatap hologram, dadanya terasa hangat.

Ia merasakan ada kebenaran mendasar di sana, bahwa tradisi dan inovasi tidak perlu saling meniadakan. Mereka bisa berpadu, selama manusia menjaga api di dalam hatinya.

“Profesor,” katanya perlahan, mata hijau berkilau lembut, “saya mulai memahami. Masa depan spiritualitas bukanlah meninggalkan yang lama, bahkan merangkai baru atas dasar yang lama.”

Profesor tersenyum lebar.

“Tepat sekali, Vaelith. Itulah seninya. Dan itulah tanggung jawab generasimu.”